Bagaikan pantun yang tidak sedap apabila tidak berbalas, hingga
kemudian kuputuskan untuk menuliskan beberapa hal yang perlu diceritakan dari
sepotong kisah bunga di tepi jalan itu. Cerita yang akan lebih banyak berisikan
alur mundur.. memutar kembali memori si bunga untuk menyadarkan dirinya.
Sepertinya, memang keduanya pernah bertemu, si pemuda pekebun bunga dan
setangkai bunga di tepi jalan. Ya, kuyakin mereka pernah bertemu pada beberapa
kali persimpangan dan dalam beberapa kali purnama. Mulai dari purnama pertama,
hingga kini purnama yang ke-18. Namun, sayangnya lebih dari 12 purnama yang
mereka habiskan sendiri, menikmatinya dalam diam sebelum akhirnya suatu jalan
pesimpangan mempertemukan mereka berdua untuk saling bertegur sapa.
Si pemuda yang
baik hati itu, kulihat dia sangat yakin bahwa itulah bunga yang selama ini ia
cari, pemuda itu sudah memutuskan tekadnya. Si pemuda, mulai mendekat untuk
melihat bunga apa yang tersingkap di seberang jalan itu. Mendekat.. walau
awalnya keraguan ada pada dirinya. Si pemuda pun mulai mengajak si bunga
berdialog, bertanya Apakah kau wahai bunga bersedia untuk ku petik, ku
pindahkan ke taman ku? Apakah kau wahai bunga bersedia untuk bersama-sama
berjuang memperindah taman ku dan menebar benih-benih yang lebih indah? Dialog
itu tak serta merta dapat dijawab oleh si bunga. Dalam hatinya, si bunga
berpikir dan tak bisa berkata-kata hingga menemukan kemantapan. Si bunga masih
mencarinya.. mencari kemantapan untuk menjawab semua pertanyaan pemuda itu
dengan lugas.
Ketika purnama
datang lagi bulan ini, si bunga pun lebih banyak merenung dan bercerita kepada
Rabb nya, apalagi kalau bukan meminta petunjuk dan kekuatan untuk tetap
bertumbuh sebagaimana semestinya. Si bunga paham benar, bahwa bukan semata-mata
menjadi kebutuhan si pemuda saja, untuk memiliki taman bunga yang indah, namun
si bunga pun ingin dirawat dan tumbuh bersama agar memberikan banyak
kebermanfaatan dalam hidupnya. Semuanya, nampak begitu abu-abu, awan pun menyelimuti
purnama bulan ini. Bagai hati yang tertutupi hawa nafsu dunia, walau tetap
bersinar, namun sinarnya hanya berpendar saja, kurang indah.
Sejak purnama
pertama, si bunga sebenarnya sudah mengenali si pemuda pekebun bunga yang masih
kebingungan (saat itu). Si bunga pun hanya mengamati dari kejauhan, di jalan
yang saling berseberangan. Ketika, suatu ketika.. si pemuda berjalan
kesana-kemari menyusuri berbagai jalan yang membuatnya mendekat dan menjauhi si
bunga. Bunga yang bingung itu pun mulai bertanya-tanya, apa yang si pemuda itu
cari? Kemana jalan si pemuda itu berujung? Akankah si pemuda tidak lagi melalui
jalan dan persimpangan hingga tak lagi bertemu dengan si bunga? Adakah bunga di
luar sana yang menarik hatinya, untuk kemudian dipetiknya? Begitulah, pikir si
bunga dalam lamunannya. Hingga kemudian, si bunga tersadar akan lamunannya, dan
ia berkata pada dirinya sendiri untuk tidak lagi mengintip gerak-gerik si pemuda
itu. Si bunga menutup kembali kelopaknya yang setengah mekar itu. Si bunga
takut berharap pada lamunannya yang tak kunjung menjadi kenyataan.
Musim pun
berganti dan bulan pun terus berotasi. Si bunga nampaknya tak tahu lagi kemana
arahnya ia tumbuh, yang ia tahu ia akan selalu mengikuti sinar matahari yang
terbit dari timur dan tenggelam di ufuk barat. Begitu seterusnya, terkadang si
bunga suka menikmati pancaran pelangi sehabis hujan. Si bunga bisa merasa
sangat bahagia ketika bisa menikmati sebuah gambaran indah dari tangan
Rabb-nya. Lantas, semua memori si bunga mulai mengembang kembali satu per satu,
mengingat berbagai moment yang ia habiskan untuk mengamati si pemuda pekebun
bunga dari jauh. Si bunga, nampaknya memang sudah sering mengamati si pemuda
pekebun bunga itu dari kejauhan bahkan mungkin sangat jauh hingga si pemuda
tidak pernah menyadarinya. Si bunga tahu benar, bahwa betapa kuat pagar yang
sudah pemuda itu siapkan, seberapa subur tanahnya, sebaik apa pupuk yang pemuda
itu pilih, seindah apa desain taman bunga yang ada dalam benak pemuda itu, dan
setiap detail persiapannya, si bunga mengetahui itu semua. Sungguh indah bagai
warna pelangi, semua itu tersusun rapi. Rasa kagum si bunga, membuatnya tak
sampai hati untuk berharap dapat berada di taman si pemuda itu. Si bunga hanya
bisa mendoakan si pemuda itu untuk bisa mendapatkan apa yang ia cari selama ini
dengan do’a yang sederhana.
Di penghujung
malam yang mulai riuh dengan suara kokok ayam, rupa-rupanya, si bunga ingat
benar setiap moment kecilnya dulu bersama si pemuda pekebun bunga. Semua moment
itu, si bunga catat dengan baik dan rapih. Diam-diam si bunga membuka kembali catatan
kecilnya, si bunga berharap bahwa si pemuda pekebun bunga itulah yang akan
memetiknya di waktu yang tepat. Namun, si bunga malu pada rembulan. Tak pernah
si bunga menyampaikan keinginan tak pantas itu pada rembulan, hanya pada Rabb
nya si bunga mengadu dan berharap pada garis persimpangan jalan. Berharap
semoga si bunga dipertemukan kembali dengan si pemuda pekebun bunga. Dan
berharap si pemuda pekebun bunga itu memetiknya, bukan sekadar bertegur sapa
lagi seperti sebelumnya. Berharap pada si pemuda itu, untuk dapat membaca
jawaban dari setiap pertanyaannya.
Ya,
si bunga berharap pada pemuda pekebun bunga itu untuk memetiknya... sebelum
semuanya menjadi terlambat. Dan aku (penulis) membisikkan semua catatan dan
harapan si bunga kepada rembulan setiap purnama tiba. Aku suka purnama dan si
bunga suka pelangi.
0 comments:
Post a Comment