Yogyakarta, 04 Agustus 2016
Perkenankan
aku, membagi sedikit cerita tentang sebuah perjalanan pertama ku menginjakkan
kaki di Pulau Dewata, Bali. Ini akan menjadi sebuah cerita flash back yang sedikit membosankan mungkin, tapi bagiku sepotong
memori tentang Bali ini adalah kisah yang tidak akan pernah kulupakan.
Perjalanan yang hanya berkisar 4 hari ini (31 Juli – 3 Agustus 2016) mampu
membelajarkan aku tentang banyak hal, especially
how to drive my self. Semua kisah ini merupakan rangkuman cerita ketika aku
haru menghadiri (karena sudah bayar) seminar internasional “Educational
Technology World Conference” di Grand Inna Bali Beach, Sanur. Here is the story...happy reading guys!
Ketika bepergian
sendiri dan pergi ke tempat yang benar-benar baru, rasanya akan sulit terbebas
dari yang namanya “rasa takut” bukan takut kepada hal-hal mistis atau takut phobia ketinggian misalnya, tapi rasa
takut ini sulit diterjemahkan. Takut sebenarnya perasaan yang wajar sebagai
hasil implikasi ketika aku memikirkan semua kemungkinan-kemungkinan negatif
yang akan terjadi. But, nyataya
ketakutan itu sebenarnya adalah sesuatu yang sangat potensial untuk ditantang
dan dibuktikan bahwa sebenarnya itu hanyalah masalah persepsi. Baiklah, tips pertama ketika kamu harus
melakukan perjalanan solo dengan trip
yang sama sekali baru adalah tumbuhkan semua pemikiran-pemikiran positif.
Karena semua bermula dari persepsi dan mind
set. Untuk memperkuat persepsi yang positif, bisa kita support dengan membuat planning
perjalanan (siapkan semua jadwal, termasuk waktu dan lokasi), ini bagian
yang penting sekali, supaya nantinya kita nggak kelihatan bingung dan nggak
tahu arah.
Hari
pertama ketika harus naik pesawat sendiri (I
have flown to Makassar before, but it was a group travelling) ada sedikit
kekhawatiran bagaimana nantinya kalau sudah sampai di Bandara Ngurah Rai? Mau
dijemput siapa? dan kemana tempat tujuannya? Nah, sebenarnya jauh-jauh hari aku
sudah belajar untuk mengantisipasi semua pertanyaan yang akan dilontarkan oleh
diriku sendiri through my mind (dan
orang lain, mungkin). Sudah ku searching bagaimana
kondisi alat transportasi di sekitar bandara, dan dimana letak tempat tujuan ku
based on google maps. Dan it works, akhirnya ku putuskan
(berdasarkan studi literatur) untuk menggunakan transportasi Grab Car. Grab Car
ini lumayan nge-trend di Bali, aku pun baru tahu jenis transportasi Grab ini
setelah berada di Bali (I think in
Yogyakarta is not available yet). Aku bersyukur, sebab driver Grab ini sangatlah ramah, kami bahkan sempat banyak
bercerita. Ada hal sulit yang dengan resiko tinggi yang agak sulit dilakukan,
yaitu untuk percaya dengan orang yang baru dikenal. Ada sebuah research kecil yang aku lakukan selama
aku di Bali (terutama untuk menilai bagaimana mempercayai orang-orang yang baru
ku kenal) ya.. tidak perlu aku ceritakan disini, yang jelas dan terpenting
adalah kita harus yakin terlebih dahulu kalau orang itu baik. Ya, kembali lagi
semua berawal dari persepsi. Semakin baik persepsi kita pada orang, sebaliknya
orang itu pun akan merspon kita dengan baik.
This is my boarding pass (*terimakasih yang sudah men-sponsori tiketnya)
Oya, enaknya ketika kita naik
Grab (dan transportasi digital lainnya, mungkin) akan ada email receipt yang akan berguna buat menyusun
LPJ atau untuk laporan penggunaan dana *khusus untuk perjalanan yang dibiayai
atau perjalanan bisnis. Ini contoh receipt
yang sempat aku save dan tentunya
memang aku simpan untuk kenang-kenangan J. Berarti, tips
kedua adalah... yakinlah pada diri sendiri untuk mempercayai seseorang,
maka dengan sendirinya orang lain pun akan merespon demikian.
Uber Receipt (From Homestay to Tanjung Benoa)
Pengalaman
dari hari pertama ku di Bali tidak berhenti sampai disitu saja, selama naik
Grab aku diantar ke toko oleh-oleh, homestay, sampai ke acara seminar yang aku tuju,
Grand Inna Bali Beach. Selama perjalanan, banyak hal-hal menarik yang aku lihat
disekeliling seperti misalnya aku baru pertama kali melihat dan merasakan lewat
jalan tol diatas laut so amazing for me.
Setelah sampai di avenue Grand Inna,
langsung saja aku disambut dengan sekelompok peserta seminar yang sama
antusiasnya. Sayangnya, sepertinya genre kita
kurang se-level jadi aku lebih banyak menyimak cerita dan pengalaman mereka.
Disini masih berlaku tips kedua yaitu untuk bagaimana percaya dengan
orang-orang baru, dan akan berlanjut di hari-hari berikutnya. Ada tips
tambahan, alias tips ketiga yaitu berkaitang
dengan bagaimana memulai pembicaran dengan orang-orang baru. Untuk
berkomunikasi, pertama yang dibutuhkan adalah keberanian untuk menyapa dan
bertanya, baru memperkenalkan diri. Itulah pola berkomunikasi dengan
orang-orang baru (acording to my experience). 99% orang yang kutemui adalah orang-orang
baru yang sama sekali kenal pun tidak, jadi terbayangkan kan betapa sering aku
harus mengulang pola komunikasi diatas? But
it was interesting experience.
Di
lain kesempatan aku mencoba jenis transportasi lain, such as Go-Jek dan Uber. Sejujurnya, di Jogja pun aku belum pernah
naik jenis transportasi tersebut (termasuk Go-Jek) but karena di Bali aku sendiri dan tidak ada fasilitas antar
jemput, so this was my first time dan
semua terverivikasi aman. Di Bali iklim turis sangat kental, bahkan lebih
kental dibandingkan jumlah turis yang aku temui di Jogja. Sebagai gambaran, semua
penghuni homestay yang aku tempati
adalah international tourist yang
tinggal di Bali dengan berbagai kepentingan. Nah, dari situ saja sudah terlihat
bagaimana perbandingannya kan? Di setiap jalan kaki, aku pun hanya
berpapasan dengan mereka atau mungkin turis-turis lokal lebih suka naik
kendaraan ya? Apalagi di sepanjang pantai Sanur, dapat ku hitung berapa banyak
orang Indonesia disana.
Bali
serasa sangat berbeda, apalagi untuk seorang muslim like me, terlepas dari memperbincangkan masalah agama, namun lebih
kepada toleransi. Selama di Sanur (tepatnya) aktivitas solat 5 waktu ku hanya
berpatokan pada waktu shalat yang ada di program smartphone, karena tak pernah aku mendengar suara adzan disana.
Mengenal budaya Hindu, adalah salah satu nilai plusnya di Bali. Aku jadi bisa
melihat bagaimana cara mereka sembahyang, ritual pagi, dan sedap harum bunga
kambojanya. Walaupun sempat merasa minoritas, tapi ini unik bagiku.. karena
sebelumnya aku tidak pernah merasakan perbedaan agama dan budaya yang
signifikan. Tips keempat, belajarlah
untuk bertoleransi dengan orang lain atau pun orang baru, tidak hanya masalah
toleransi keyakinan, namun juga include budaya
dalam arti yang luas. Ingat, bahwa travelling berarti mengubah status kita
menjadi pendatang, dan sebagai pendatang yang baik harus mengenali dan
beradaptasi dengan budaya setempat.
Di
day-2, lebih banyak aktivitas seminar di hotel dan di hari ke-2 inilah aku
menyasarkan diri untuk mencoba rute pulang baru (jalan kaki) ke homestay. Ada pelajaran menarik, kata
Prof. Rhenald Khasali “ketika kamu nyasar, itu tandanya kamu berpikir” baiklah
aku setuju. Karena ketika kita nyasar, itu berarti kita akan berpikir tentang
rute baru untuk bisa pulang, jauh lebih bagus dibandingkan dengan mode auto pilot (yang sudah tersetting default). Tips kelima, jangan takut mencoba rute-rute baru, apalagi saat
travelling ke tempat baru sudah dipastikan kegiatan “berpikir” ini akan lebih
sering akan kamu lakukan. Sesekali pergi lah sendiri, buat rute sendiri,
dijamin daya ingatnya akan lebih bagus dibandingkan hanya duduk manis di
angkutan.
The Avenue, Grand Inna Bali Beach
Yang
namanya mengikuti seminar, itu artinya akan ada sesi untuk presentasi kan? Nah
aku harus presentasi untuk level seminar internasional, yap yang pasti must be in English. Aku tahu kalau
bahasa Inggris ku pas-pasan, ada rasa takut salah menyampaikan. Dan selama
disana, aku jarang menyapa partisipan asing (foreigner)
karena takut ndak nyambung ngobrolnya. Tapi, ada moment yang sulit
dihindari sehingga membuat aku harus berkomunikasi dengan mereka, hmmm... semacam
di dalam otak ku, ada tombol switch yang
sulit dihidupkan. Jadi rasanya ketika ada bule ngomong bahasa Inggris, otak
bekerja lebih berat untuk mentranslate atau mungkin bahasanya decoding dan selanjutnya ketika akan
menjawab orbrolannya, semacam perlu kerja esktra untuk meng-encoding. Mungkin ini wajar, karena
bahasa ibu ku adalah bahasa Indonesia. Seru sekali, ini semacam menggelitik
untuk ditindaklanjuti dalam format kursus bahasa Inggris (he he he).
Street Walk Sanur Beach (rute setiap hari)
Hari-hari
berjalan begitu cepat, rasanya baru kemarin ke Bali namun di tanggal 3 kemarin
saatnya aku kembali ke Jogja. Sebelum pulang, aku sempatkan bersepeda keliling
pantai Sanur berharap mendapatkan pemandangan sun rise yang indah. Aku pinjam
sepeda dari homestay untuk
berkeliling, beda sekali ketika bisa bersepeda di pinggir pantai dengan
aktivitas bersepeda ku di Jogja. Dan sun
rise pagi itu menjadi sebuah farewell
sign from Sanur, setelah siangnya harus kembali ke Jogja dengan jadwal
penerbangan 15.10 WITA. Setiap hari, ada moment dimana aku harus meyakinkan
diriku sendiri bahwa “I can drive my
self” walaupun sendiri, tapi tak sebenarnya berarti sendiri. Ada untungnya
juga ketika harus pergi sendiri, yang pertama
kita tidak perlu menunggu-nunggu orang untuk pergi, kemana pun dan kapan
pun bisa dilakukan tanpa harus menuggu-nunggu atau tergantung orang lain. Karena
hal yang paling tidak aku sukai adalah menunggu tanpa konfirmasi, coba kalau
ada konfirmasi terlebih dahulu mungkin proses menunggu akan lebih efisien (eh,
curhat). Kedua, pergi sendiri bisa
mempertajam intuisi dan memahami sejauh mana kemampuan adaptasi kita dengan
segala kondisi baru. Ketiga, pergi
sendiri memaksa kita untuk mendapatkan teman baru, berbeda kalau kita pergi
berkelompok bisa jadi kita terlalu nyaman dengan orang yang itu-itu saja. Dan
dari pelajaran ketiga ini, ternayata pergi sendiri itu bisa membuat kita merasa
‘terdesak’ untuk survive, dan survive itu tidak akan terjadi selama
kita berada di zona nyaman. Semoga tips-tips based on experience-ku ini bisa bermanfaat sebagai referensi yang
berguna dan mampu mendukung perbaikan mind
set tentang going travelling alone.
Semoga dilain waktu, bisa kembali menuliskan sepotong kisah perjalanan di
negeri yang lain. Amin.
So beautiful sun rise.. (*terimakasih Ida homestay for the bike)
0 comments:
Post a Comment